MAKALAH
ISLAM DI ASIA
TENGGARA
(Islam di
Indonesia Sebelum Kemerdekaan dan Sesudah Kemerdekaan)
Disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu:
H. M. Syakirin Al Gozaly, MA., Ph.D
Oleh:
UMI ISTIQOMAH
(141221042)
JURUSAN
BIMBINGAN KONSELING ISLAM KELAS 2B
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI SURAKARTA
SURAKARTA
2014/2015
BAB I
PENDAHULUAN
Islam masuk ke Indonesia mulai abad ke-7
dan telah dianut sebagian besar orang Indonesia, baik sebagai agama maupun
sebagai hukum. Hal ini terjadi semenjak dahulu. Setelah masuknya agama Islam,
selalu ada pegawai khusus yang mempunyai keahlian dalam hukum Islam, yang
kadang-kadang menangani juga urusan mu’amalah, iddah, hadhanah, waris, dan
lainnya, oleh pegawai yang berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia. Kedatangan
Islam di wilayah Nusantara tidaklah bersamaan. Demikian pula, kerajaan-kerajaan
dan daerah-daerah yang didatangi mempunyai situasi politik dan sosial budaya
yang berlainan. Pada masa kerajaan Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya sekitar
abad ke-7 M dan ke-8 M, selat Malaka mulai dilalui pedagang-pedagang muslim
dalam pelayarannya ke negeri-negeri di Asia Tenggara dan Asia Timur.
Kepulauan Nusantara telah dianggappenting
bagi perdagangan antarbangsa sejak zaman purba, karena pulau-pulaunya terletak
di sepanjang laut (pantai) yang menghubungkan Cina dan kekuasaan kekaisaran
Romawi. Para pedagang asing yang berkunjung ke kepulauan Indonesia membawa
gagasan atau adat-istiadatnya kepada bangsa Indonesia. Demikian juga, para
mubaligh dan pedagang muslim dari Arab yang datang ke wilayah Nusantara
memperkenalkan Islam secara damai.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Islam di Indonesia Sebelum Kemerdekaan
1.
Birokrasi
Keagamaan
Penyebaran
Islam di Indonesia pertama-tama dilakukan oleh para pedagang, pertumbuhan komunitas
Islam bermula diberbagai pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera, Jawa, dan
pulau lainnya. Menjelang akhir abad ke-17, pengaruh Islam sudah hampir merata
di berbagai wilayah penting di Nusantara.[1]
Kedudukan ulama sebagai penasihat raja, terutama dalam bidang keagamaan juga
terdapat di kerajaan-kerajaan Islam. Selain menjadi penasihat badan peradilan,
juga memberi nasihat kepada raja kalau ia melanggar peraturan.[2] Di
samping sebagai penasihat raja, para ulama juga duduk dalam jabatan-jabatan
keagamaan yang tingkat dan namanya berbeda-beda, antara satu daerah dengan
daerah lainnya, pada umumnya disebut qadhi, meski dengan dialek yang
berbeda. Tetapi, penerapan hukum Islam di satu kerajaan lebih jelas
dibandingkan dengan kerajaan lain. Yang terkuat diantaranya adalah Aceh dan
Banten.
2.
Ulama
dan Ilmu-ilmu Keagamaan
Penyebaran
dan pertumbuhan kebudayaan Islam di Indonesia terutama terletak di pundak para
ulama. Paling tidak, ada dua cara yang dilakukannya. Pertama, membentuk
kader-kader ulama yang akan bertugas sebagai mubalig ke daerah-daerah yang
lebih luas. Cara ini dilakukan di dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam yang
dikenal dengan pesantern di Jawa, dayah di Aceh, dan surau di
Minangkabau. Kedua, melalui karya-karya yang tersebar dan dibaca di berbagai
tempat yang jauh. Karya-karya tersebut mencerminkan perkembangan pemikiran dan
ilmu-ilmu keagamaan di Indonesia pada masa itu. Pada abad ke-16 dan 17, banyak
sekali bermunculan tulisan-tulisan para cendekiawan Islam di Indonesia.
Ilmuwan
Muslim terkenal pertama di Indonesia adalah Hamzah Fansuri, seorang tokoh sufi
terkemuka yang berasal dari Fansur (Barus), Sumatra Utara dan juga memiliki
karya-karya yang terkenal. Hamzah Fansuri ini di Aceh dikenal dengan sebutan wujudiyah
atau martabat tujuh. Menurutnya, yang disebut wujud itu hanya satu,
meskipun kelihatannya banyak. wujud yang satu itu mempunyai dua dimensi,
dimensi batin (isi) dan dimensi lahir (kulit). Semua benda yang tampak itu
merupakan manifestasi dari dimensi batin, yaitu wujud yang hakiki, yang tiada
lain adalah Allah. Wujud yang hakiki itu mempunyai tujuh martabat.[3]
Ulama
Aceh lainnya yang banyak menulis buku adalah Nuruddin Al-Raniri. Ia berasal
dari India, keturunan Arab Quraisy Handramaut. Menurut catatan Ahmad Daudi,
karyanya yang sudah diketahui dengan pasti berjumlah 29 buah, yang meliputi
berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti ilmu fiqih, hadits, akidah, sejarah,
tasawuf, dan sekte-sekte agama.
Penulis
lainnya yang juga berasal dari Kerajaan Aceh adalah Abdurrauf Singkel yang
mendalami ilmu pengetahuan Islam di Mekah dan Madinah. Dia menghidupkan kembali
ajaran tasawuf yang sebelumnya dikembangkan oleh Hamzah Fansuri melalui tarekat
Syattariah yang diajarkannya, walaupun dengan ungkapan dan metafor yang
berbeda.
Di
Sulawesi, pemikiran tasawuf yang sama juga berkembang, terutama melalui Syaikh Yusuf
Makassar (1626-1699) yang lama belajar di Timur Tengah. Menurut Tujimah,
karya-karyanya yang kebanyakan dalam bidang tasawuf itu diperkirakan berjumlah
20 buah dan sekarang masih dalam bentuk naskah yang belum diterbitkan.
Pada
abad ke-19 M, pemikiran tasawuf mulai bergeser ke pemikiran fiqh seperti
tergambar dalam karya-karya ulama pada masa itu. Di antara ulama-ulama yang
produktif menulis adalah Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1710-1812), Haji
Ahmad Ripangi (1786-1875), Syaikh Nawawi Banten, dan Syaikh Ahmad Khatib
Minangkabau (1860-1916).
3.
Arsitek
Bangunan
Arsitektur
bangunan-bangunan Islam di Indonesia berbeda dengan yang terdapat di dunia
Islam lainnya. Hasil-hasil seni bangunan pada zaman pertumbuhan dan
perkembangan Islam di Indonesia antara lain masjid-masjid kuno Demak, Sendang
Duwur Agung Kasepuhan di Cirebon, Mesjid Agung Banten, Baiturrahman di Aceh, dan di daerah-daerah lain. Beberapa
masjid kuno mengingatkan kita kepada seni bangunan candi, menyerupai bangunan meru
pada zaman Indonesia-Hindu. Ukiran-ukiran pada mimbar, hiasan lengkung pola kalamakara,
mihrab, bentuk beberapa mastaka atau memolo menunjukkan
hubungan yang erat perlambang meru, kekayon gunungan atau gunung tempat
dewa-dewa yang dikenal dalam cerita keagamaan Hindu.[4]
B.
Islam di Indonesia Setelah Kemerdekaan
1.
Departemen
Agama
Sejak
awal kebangkitan nasional, posisi agama sudah mulai dibicarakan dalam kaitannya
dengan politik atau Negara. Ada dua pendapat yang didukung oleh dua golongan
yang bertentangan tentang hal itu. Satu golongan berpendapat, Negara Indonesia
merdeka hendaknya merupakan sebuah Negara “sekuler”, Negara yang dengan jelas
memisahkan persoalan agama dan politik, sebagaimana diterapkan di Negara Turki
oleh Mustafa Kamal. Golongan lainnya berpendapat, Negara Indonesia merdeka
adalah “Negara Islam”.
Meskipun
persoalan itu belum selesai dipecahkan, tampaknya para pemimpin bangsa
Indonesia sudah bergerak jauh ke depan, memikirkan alternative “jalan tengah”
dari dua pendapat tersebut. Mereka menganjurkan suatu Negara yang mempunyai
dasar keagamaan secara umum dan pemerintah mengakui nilai keagamaan yang
positif, karena itu akan memajukan kegiatan keagamaan. Dalam kerangka itulah,
Departemen Agama didirikan. Departemen Agama (dulu namanya Kementerian Agama)
didirikan pada masa Kabinet Syahrir yang mengambil keputusan tanggal 3 Januari
1946 untuk memberikan sebuah konsesi kepada kaum Muslimin.[5]
Menteri agama pertama adalah M. Rasidi yang diangkat pada tanggal 12 Maret
1946. Usaha untuk mendirikan departemen itu mulanya mendapat halangan dari para
perumus UUD 1945, ketika PPKI mengadakan rapat tanggal 19 Agustus 1945. Akan
tetapi, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), pada tanggal 11 November 1945
mengusulkan pendiriannya. Usul itu diprakarsai oleh K.H. Abudardiri, K.H. Saleh
Su’aidi, dan M. Sukoso Wirjosaputro, kesemuanya adalah anggota KNIP dari daerah
Banyumas. Usul itu mendapat dukungan dari M. Natsir, Dr. Muwardi, Dr. Marzuki
Mahdi, dan M. Kartosudarmo (semuanya anggota KNIP) dan disetujui oleh badan
legislatif tersebut.
Sebelum
terbentuknya kementerian ini, ada pembahasan mengenai apakah kementerian ini
akan dinamakan Kementerian Agama Islam atau Kementerian Agama. Karena di
Indonesia tidak mengatur hanya satu agama tetapi lima agama, maka pemimpin
politik Indonesia mengatakan, bahwa Indonesia bukanlah Negara sekuler dan bukan
juga Negara agama. Dasar pertama dari Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”,
dianggap memadai untuk membenarkan adanya Departemen Agama ini.
Dalam
jangka waktu beberapa tahaun di awal berdirinya kementerian ini, telah
dikeluarkan berbagai peraturan yang menentukan tugas serta ruang lingkup kementerian
agama. Meskipun ruang lingkupnya tetap sama, rumusannya sudah beberapa kali
berubah. Tujuan dan fungsi Departemen Agama yang dirumuskan pada tahun 1967 adalah
sebagai berikut:[6]
1.
Mengurus serta mengatur pendidikan agama di
sekolah-sekolah, serta membimbing perguruan-perguruan agama.
2.
Mengikuti
dan memperhatikan hal yang bersangkutan dengan agama dan keagamaan.
3.
Memberi
penerangan dan penyuluhan agama.
4.
Mengurus
dan mengatur peradilan agama serta menyelesaikan masalah yang berhubungan
dengan hukum agama.
5.
Mengurus
dan memperkembangkan IAIN, perguruan tinggi agama swasta dan pesantren luhur,
serta mengurus dan mengawasi pendidikan agama pada perguruan-perguruan tinggi.
6.
Mengatur,
mengurus, dan mengawasi penyelenggaraan ibadah haji.
Sesuai
dengan perkembangan departemen ini, strukturnya berkembang, yang semula hanya
terdiri dari empat seksi, sekarang terdiri dari lima direktorat jenderal.
2.
Pendidikan
Setelah
Indonesia merdeka, terutama setelah berdirinya Departemen Agama, persoalan
pendidikan agama Islam mulai mendapat perhatian lebih serius. Badan Pekerja
Komite Nasional Pusat dalam bulan Desember 1945 menganjurkan agar pendidikan
madrasah diteruskan. Badan ini juga mendesak pemerintah agar memberikan bantuan
kepada madrasah. Departemen agama juga menganjurkan agar pesantren tradisional
dikembangkan menjadi sebuah madrasah, diisusun secara klasikal, memakai
kurukulum yang tetap, dan memasukkan mata pelajaran umum di samping agama,
sehingga murid di madrasah tersebut mendapat pendidikan umum yang sama dengan
murid di sekolah umum. Berkenaan dengan perguruan tinggi Islam, kaum Muslimin
di Indonesia sejak awal sudah berpikir untuk membangunnya. Mahmud Yunus membuka
Islamic College pertama tanggal 9 Desember 1940 di Padang, yang terdiri dari
Fakultas Syariah dan Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab.
Universitas
Islam Indonesia (UII) adalah perguruan tinggi Islam pertama yang memiliki
fakultas-fakultas non-agama. Dengan demikian, ia dapat memberi contoh tentang
perkembangan universitas-universitas Islam di Indonesia.[7]
Perguruan tinggi Islam yang khusus terdiri dari fakultas-fakultas keagamaan
mulai mendapat perhatian kementerian Agama pada tahun 1950. Pada tanggal 12
Agustus 1950, Fakultas Agama di UII dipisahkan dan diambil alih oleh pemerintah
dan pada tanggal 26 September 1951 secara resmi dibuka perguruan tinggi baru
dengan nama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dibawah pengawasan
Kementerian Agama. Pada tahun 1957, di Jakarta didirikan Akademi Dinas Ilmu
Agama (ADIA). Akademi ini dimaksudkan sebagai sekolah latihan bagi para pejebat
yang berdinas dalam pemerintahan. Pada tahun 1960, PTAIN dan ADIA disatukan
menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dibawah Kementerian Agama.[8]
IAIN ini terus berkembang pesat. Pada tahun 1992, ada 14 buah IAIN di seluruh
Indonesia dengan fakultas lebih dari seratus. Juga bermula dari Jakarta dan
Yogyakarta, pada awal tahun 1980-an, dibuka Program Pascasarjana IAIN dan
beberapa tahun kemudian IAIN Alauddin Ujung Pandang dan IAIN Syiah Kuala, Aceh,
juga membuka program yang sama.
3.
Hukum
Islam
Salah
satu lembaga Islam yang sangat penting yang juga ditangani oleh Departemen
Agama adalah hukum atau syariat. Pengadilan Islam di Indonesia membatasi
dirinya pada soal-soal hukum muamalat yang bersifat pribadi. Hukum muamalat pun
terbatas pada masalah nikah, cerai, dan rujuk; hukum waris (faraidh), wakaf,
hibah, dan baitul mal.[9] Baru
pada tahun 1974, hukum perkawinan diundangkan, setelah Dewan Perwakilan Rakyat
menyetujui pada bulan Desember 1973. Sebenarnya, usaha untuk mengundangkan
peraturan perkawinan secara nasional sudah dimulai sejak tahun 1950 dengan
terbentuknya suatu panitia khusus yang diketuai oleh Teuku Mohammad Hasan. Baru
pada tahun 1958, hasil kerja panitia ini dibicarakan dalam Dewan Perwakilan
Rakyat, bersama-sama dengan suatu usul rancangan undang-undang yang dimajukan
oleh kalangan nasionalis. Akan tetapi, kedua rancanagn itu dikesampingkan,
karena terjadi kemacetan dalam perdebatan di parlemen.
Pelaksanaan
hukum Islam di Indonesia, meskipun demikian, tetap saja masih sulit dilakukan,
karena belum ada kompilasi, apalagi kodifikasi hukum Islam yang dijadikan hukum
terapan pada Badan Peradilan Agama masih terpencar di dalam berbagai kitab
fiqih klasik yang jumlahnya sangat banyak.
4.
Haji
Indonesia
termasuk negeri yang banyak mengirim jamaah haji. Sejak awal tahun 1970-an,
banyak para pejabat tinggi pemerintah, termasuk menteri, yang tidak ketinggalan
berangkat ke tanah suci. Bahkan, dari kalangan merekalah amir al-hajj (pemimpin
jamaah haji) Indonesia ditunjuk. Semenjak zaman penjajahan Belanda, umat Islam
Indonesia ingin mempunyai kapal laut untuk dipergunakan dalam penyelenggaraan
perjalanan haji. Iuran dikumpulkan, saham diedarkan, tetapi, selama zaman
jajahan, keinginan ini tidak terwujud. Setelah Indonesia merdeka, usaha ini
dilanjutkan. Pada tahun 1950, sebuah yayasan, yaitu Yayasan Perjalanan Haji
Indonesia, didirikan di Jakarta. Pemerintah memberikan kuasa kepada Yayasan itu
untuk menyelenggarakan perjalanan haji. Sebuah bank, Bank Haji Indonesia dan
sebuah perusahaan kapal, Pelayaran Muslim Indonesia (MUSI) didirikan. Tetapi,
sepuluh tahun kemudian, perusahaan MUSI ini masih saja bertindak sebagai agen
dalam mencarter kapal dari perusahaan asing, MUSI tidak mempunyai kapal
sendiri.[10]
Cara ini ditempuh sampai tahun 1962, ketika MUSI dibekukan oleh pemerintah,
mungkin sekali karena pertimbangan politik. Setahun sebelumnya, pada tahun
1961, Petugas Haji Indonesia (PHI) yang bertugas memberikan kemudahan-kemudahan
naik haji, juga dibubarkan karena banyak anggota PHI adalah anggota Masyumi,
partai yang telah dibubarkan.[11]
Untuk
peningkatan mutu pelayanan, pemerintah menyediakan Tim Pembimbing Haji
Indonesia (TPHI), Tim Pembimbing Haji Daerah (TPHD), Tim Kesehatan Haji
Indonesia (TKHI), dan Tim Kesehatan Haji Daerah (TKHD). Disamping itu,
pemerintah masih merasa perlu untuk mengangkat Tim Pembimbing Ibadah Haji
(TPIH).[12]
Sesuai dengan aspirasi sebagian masyarakat, sejak awal tahun 1980-an, dikenal
adanya Ongkos Naik Haji (ONH) Plus, yang tentu berbeda dengan ONH biasa dalam
hal pelayanan.
5.
Majelis
Ulama Indonesia
Di
samping Departemen Agama, cara lain pemerintah Indonesia dalam menyelenggarakan
administrasi Islam ialah mendirikan Majelis Ulama. Pertama kali Majelis Ulama
didirikan pada masa pemerintahan Soekarno. Majelis ini pertama berdiri di
daerah-daerah karena diperlukan untuk menjamin keamanan. Di Jawa Barat berdiri
pada tanggal 12 Juli 1958, diketuai oleh seorang panglima militer.
Majelis-majelis
Ulama di provinsi lain didirikan jauh kemudian, yaitu setelah majelis pusat
berdiri pada bulan Oktober 1962, sesuai dengan keinginan dan instruksi
pemerintah pusat. Setelah Soekarno jatuh sebagai akibat peristiwa Gestapu,
kegiatan-kegiatan Majelis Ulama Daerah meningkat, terutama di Aceh, Sumatera
Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan semua daerah yang terkenal kuat
Islamnya.[13]
Pada
tanggal 8 September 1969, di Jakarta didirikan Pusat Dakwah Islam Indonesia
(PDII) yang merupakan badan setengah resmi. Pada tahun 1975, usaha-usaha
dimulai untuk mendirikan majelis ulama yang baru. Majelis-majelis ulama di tiap
ibu kota provinsi dibentuk atau bagi yang masih aktif diteruskan dalam rangka
pembentukan majelis ulama yang baru. Di Jakarta dibentuk panitia Musyawarah
Nasional I Majelis Ulam seluruh Indonesia. Musyawarah itu dilangsungkan pada
tanggal 21-27 Juni 1975, dihadiri oleh wakil-wakil Majelis Ulama provinsi.
Ketika itulah Majelis Ulama didirikan dengan nama Majelis Ulama Indonesia.
Dalam periode pertama (1975-1980), jabatan ketua umum Majelis Ulama ini
dipegang oleh Prof. Dr. Hamka yang terpilih kembali untuk masa jabatan
1980-1985. Kemudia Hamka mengundurkan diri dari Ketua Umum MUI pada tahun 1981
karena berbeda pendapat dengan pemerintah tentang perayaan “Natal Bersama”.
Pengunduran itu tidak menolak perlunya eksistensi MUI, bahkan pengunduran
tersebut merupakan “harga” yang harus dibayar oleh semua pihak untuk membangun
martabat dan fungsi MUI yang benar. Bagaimanapun Hamka telah membuat sejarah
dengan MUI-nya.[14]
Meski
perkembangan terakhir menunjukkan merelupnya peranan alim ulama dalam lapangan
politik dan kenegaraan, tetapi hal itu tidak berarti peranan alim ulama hilang
lenyap sama sekali. Cuma untuk mengemban peranan sebagai pembimbing rohani
ummat dan pemberi petunjuk fatwa-fatwa keagamaan perlu dilakukan usaha-usaha
pengkaderan ulama. Dan usaha tersebut bukanlah tanggung jawab pemerintah juga.
Apalagi dengan telah ditumbuhkannya MUI sejak tahun 1975, tanggung jawab pemerintah
harus kian menonjol.
BAB III
PENUTUP
Penyebaran Islam di Indonesia pertama-tama dilakukan oleh para
pedagang, pertumbuhan komunitas Islam bermula diberbagai pelabuhan-pelabuhan
penting di Sumatera, Jawa, dan pulau lainnya. Penyebaran dan pertumbuhan
kebudayaan Islam di Indonesia terutama terletak di pundak para ulama. Paling
tidak, ada dua cara yang dilakukannya. Pertama, membentuk kader-kader
ulama yang akan bertugas sebagai mubalig ke daerah-daerah yang lebih luas. Kedua,
melalui karya-karya yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat yang jauh.
Kemudian setelah Indonesia merdeka banyak mengalami perubahan,
yaitu didirikannya Departemen Agama yang kemudian mempunyai tugas-tugas penting
yang harus dilakukan yaitu menyelenggarakan, membimbing, dan mengawasi
pendidikan agama. Departemen Agama juga menangani hukum atau syariat Islam. Di
samping Departemen Agama, cara lain pemerintah Indonesia dalam menyelenggarakan
administrasi Islam ialah menyediakan Tim Pembimbing Haji Indonesia (TPHI), Tim
Pembimbing Haji Daerah (TPHD), Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI), dan Tim
Kesehatan Haji Daerah (TKHD), dan mendirikan Majelis Ulama Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Aen, Nurul. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Rais, M. Amien (Ed.). Islam di Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali.
Uka, Tjandrasasmita (Ed.). Sejarah Nasional
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Yatim, Badri. 2014. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
[1]
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2014), hlm.299.
[2] Ibid.,
hlm. 120.
[4] Uka
Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia, III, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1984), hlm.193.
[5]
B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grafitipers, 1985,
cetakan pertama), hlm. 110.
[6]
Deliar Noer, op. cit., hlm. 36-37.
[7]
B.J. Boland, op. cit., hlm. 123.
[9]
Deliar Noer, op. cit., hlm. 84.
[10]
Deliar Noer, op. cit., hlm. 105.
[11] Ibid.,
hlm. 106.
[12] Panji
Masyarakat, No. 515, 11 September 1986, hlm. 17.
[14]
Rais M. Amien (Ed.), Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali, 1989),
hlm. 146.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar