Kamis, 05 November 2015

ISLAM DI ASIA TENGGARA


MAKALAH

ISLAM DI ASIA TENGGARA

(Islam di Indonesia Sebelum Kemerdekaan dan Sesudah Kemerdekaan)

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu: H. M. Syakirin Al Gozaly, MA., Ph.D



Oleh:

UMI ISTIQOMAH (141221042)



JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM KELAS 2B
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
SURAKARTA
2014/2015




BAB I
PENDAHULUAN

Islam masuk ke Indonesia mulai abad ke-7 dan telah dianut sebagian besar orang Indonesia, baik sebagai agama maupun sebagai hukum. Hal ini terjadi semenjak dahulu. Setelah masuknya agama Islam, selalu ada pegawai khusus yang mempunyai keahlian dalam hukum Islam, yang kadang-kadang menangani juga urusan mu’amalah, iddah, hadhanah, waris, dan lainnya, oleh pegawai yang berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia. Kedatangan Islam di wilayah Nusantara tidaklah bersamaan. Demikian pula, kerajaan-kerajaan dan daerah-daerah yang didatangi mempunyai situasi politik dan sosial budaya yang berlainan. Pada masa kerajaan Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya sekitar abad ke-7 M dan ke-8 M, selat Malaka mulai dilalui pedagang-pedagang muslim dalam pelayarannya ke negeri-negeri di Asia Tenggara dan Asia Timur.
Kepulauan Nusantara telah dianggappenting bagi perdagangan antarbangsa sejak zaman purba, karena pulau-pulaunya terletak di sepanjang laut (pantai) yang menghubungkan Cina dan kekuasaan kekaisaran Romawi. Para pedagang asing yang berkunjung ke kepulauan Indonesia membawa gagasan atau adat-istiadatnya kepada bangsa Indonesia. Demikian juga, para mubaligh dan pedagang muslim dari Arab yang datang ke wilayah Nusantara memperkenalkan Islam secara damai.
                                                                                                             


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Islam di Indonesia Sebelum Kemerdekaan
1.         Birokrasi Keagamaan
Penyebaran Islam di Indonesia pertama-tama dilakukan oleh para pedagang, pertumbuhan komunitas Islam bermula diberbagai pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera, Jawa, dan pulau lainnya. Menjelang akhir abad ke-17, pengaruh Islam sudah hampir merata di berbagai wilayah penting di Nusantara.[1] Kedudukan ulama sebagai penasihat raja, terutama dalam bidang keagamaan juga terdapat di kerajaan-kerajaan Islam. Selain menjadi penasihat badan peradilan, juga memberi nasihat kepada raja kalau ia melanggar peraturan.[2] Di samping sebagai penasihat raja, para ulama juga duduk dalam jabatan-jabatan keagamaan yang tingkat dan namanya berbeda-beda, antara satu daerah dengan daerah lainnya, pada umumnya disebut qadhi, meski dengan dialek yang berbeda. Tetapi, penerapan hukum Islam di satu kerajaan lebih jelas dibandingkan dengan kerajaan lain. Yang terkuat diantaranya adalah Aceh dan Banten.
2.         Ulama dan Ilmu-ilmu Keagamaan
Penyebaran dan pertumbuhan kebudayaan Islam di Indonesia terutama terletak di pundak para ulama. Paling tidak, ada dua cara yang dilakukannya. Pertama, membentuk kader-kader ulama yang akan bertugas sebagai mubalig ke daerah-daerah yang lebih luas. Cara ini dilakukan di dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan pesantern di Jawa, dayah di Aceh, dan surau di Minangkabau. Kedua, melalui karya-karya yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat yang jauh. Karya-karya tersebut mencerminkan perkembangan pemikiran dan ilmu-ilmu keagamaan di Indonesia pada masa itu. Pada abad ke-16 dan 17, banyak sekali bermunculan tulisan-tulisan para cendekiawan Islam di Indonesia.
Ilmuwan Muslim terkenal pertama di Indonesia adalah Hamzah Fansuri, seorang tokoh sufi terkemuka yang berasal dari Fansur (Barus), Sumatra Utara dan juga memiliki karya-karya yang terkenal. Hamzah Fansuri ini di Aceh dikenal dengan sebutan wujudiyah atau martabat tujuh. Menurutnya, yang disebut wujud itu hanya satu, meskipun kelihatannya banyak. wujud yang satu itu mempunyai dua dimensi, dimensi batin (isi) dan dimensi lahir (kulit). Semua benda yang tampak itu merupakan manifestasi dari dimensi batin, yaitu wujud yang hakiki, yang tiada lain adalah Allah. Wujud yang hakiki itu mempunyai tujuh martabat.[3]
Ulama Aceh lainnya yang banyak menulis buku adalah Nuruddin Al-Raniri. Ia berasal dari India, keturunan Arab Quraisy Handramaut. Menurut catatan Ahmad Daudi, karyanya yang sudah diketahui dengan pasti berjumlah 29 buah, yang meliputi berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti ilmu fiqih, hadits, akidah, sejarah, tasawuf, dan sekte-sekte agama.
Penulis lainnya yang juga berasal dari Kerajaan Aceh adalah Abdurrauf Singkel yang mendalami ilmu pengetahuan Islam di Mekah dan Madinah. Dia menghidupkan kembali ajaran tasawuf yang sebelumnya dikembangkan oleh Hamzah Fansuri melalui tarekat Syattariah yang diajarkannya, walaupun dengan ungkapan dan metafor yang berbeda.
Di Sulawesi, pemikiran tasawuf yang sama juga berkembang, terutama melalui Syaikh Yusuf Makassar (1626-1699) yang lama belajar di Timur Tengah. Menurut Tujimah, karya-karyanya yang kebanyakan dalam bidang tasawuf itu diperkirakan berjumlah 20 buah dan sekarang masih dalam bentuk naskah yang belum diterbitkan.
Pada abad ke-19 M, pemikiran tasawuf mulai bergeser ke pemikiran fiqh seperti tergambar dalam karya-karya ulama pada masa itu. Di antara ulama-ulama yang produktif menulis adalah Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1710-1812), Haji Ahmad Ripangi (1786-1875), Syaikh Nawawi Banten, dan Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (1860-1916).
3.         Arsitek Bangunan
Arsitektur bangunan-bangunan Islam di Indonesia berbeda dengan yang terdapat di dunia Islam lainnya. Hasil-hasil seni bangunan pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia antara lain masjid-masjid kuno Demak, Sendang Duwur Agung Kasepuhan di Cirebon, Mesjid Agung Banten, Baiturrahman di  Aceh, dan di daerah-daerah lain. Beberapa masjid kuno mengingatkan kita kepada seni bangunan candi, menyerupai bangunan meru pada zaman Indonesia-Hindu. Ukiran-ukiran pada mimbar, hiasan lengkung pola kalamakara, mihrab, bentuk beberapa mastaka atau memolo menunjukkan hubungan yang erat perlambang meru, kekayon gunungan atau gunung tempat dewa-dewa yang dikenal dalam cerita keagamaan Hindu.[4]
B.       Islam di Indonesia Setelah Kemerdekaan
1.         Departemen Agama
Sejak awal kebangkitan nasional, posisi agama sudah mulai dibicarakan dalam kaitannya dengan politik atau Negara. Ada dua pendapat yang didukung oleh dua golongan yang bertentangan tentang hal itu. Satu golongan berpendapat, Negara Indonesia merdeka hendaknya merupakan sebuah Negara “sekuler”, Negara yang dengan jelas memisahkan persoalan agama dan politik, sebagaimana diterapkan di Negara Turki oleh Mustafa Kamal. Golongan lainnya berpendapat, Negara Indonesia merdeka adalah “Negara Islam”.
Meskipun persoalan itu belum selesai dipecahkan, tampaknya para pemimpin bangsa Indonesia sudah bergerak jauh ke depan, memikirkan alternative “jalan tengah” dari dua pendapat tersebut. Mereka menganjurkan suatu Negara yang mempunyai dasar keagamaan secara umum dan pemerintah mengakui nilai keagamaan yang positif, karena itu akan memajukan kegiatan keagamaan. Dalam kerangka itulah, Departemen Agama didirikan. Departemen Agama (dulu namanya Kementerian Agama) didirikan pada masa Kabinet Syahrir yang mengambil keputusan tanggal 3 Januari 1946 untuk memberikan sebuah konsesi kepada kaum Muslimin.[5] Menteri agama pertama adalah M. Rasidi yang diangkat pada tanggal 12 Maret 1946. Usaha untuk mendirikan departemen itu mulanya mendapat halangan dari para perumus UUD 1945, ketika PPKI mengadakan rapat tanggal 19 Agustus 1945. Akan tetapi, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), pada tanggal 11 November 1945 mengusulkan pendiriannya. Usul itu diprakarsai oleh K.H. Abudardiri, K.H. Saleh Su’aidi, dan M. Sukoso Wirjosaputro, kesemuanya adalah anggota KNIP dari daerah Banyumas. Usul itu mendapat dukungan dari M. Natsir, Dr. Muwardi, Dr. Marzuki Mahdi, dan M. Kartosudarmo (semuanya anggota KNIP) dan disetujui oleh badan legislatif tersebut.
Sebelum terbentuknya kementerian ini, ada pembahasan mengenai apakah kementerian ini akan dinamakan Kementerian Agama Islam atau Kementerian Agama. Karena di Indonesia tidak mengatur hanya satu agama tetapi lima agama, maka pemimpin politik Indonesia mengatakan, bahwa Indonesia bukanlah Negara sekuler dan bukan juga Negara agama. Dasar pertama dari Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dianggap memadai untuk membenarkan adanya Departemen Agama ini.
Dalam jangka waktu beberapa tahaun di awal berdirinya kementerian ini, telah dikeluarkan berbagai peraturan yang menentukan tugas serta ruang lingkup kementerian agama. Meskipun ruang lingkupnya tetap sama, rumusannya sudah beberapa kali berubah. Tujuan dan fungsi Departemen Agama yang dirumuskan pada tahun 1967 adalah sebagai berikut:[6]
1.     Mengurus serta mengatur pendidikan agama di sekolah-sekolah, serta membimbing perguruan-perguruan agama.
2.    Mengikuti dan memperhatikan hal yang bersangkutan dengan agama dan keagamaan.
3.    Memberi penerangan dan penyuluhan agama.
4.    Mengurus dan mengatur peradilan agama serta menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan hukum agama.
5.    Mengurus dan memperkembangkan IAIN, perguruan tinggi agama swasta dan pesantren luhur, serta mengurus dan mengawasi pendidikan agama pada perguruan-perguruan tinggi.
6.    Mengatur, mengurus, dan mengawasi penyelenggaraan ibadah haji.
Sesuai dengan perkembangan departemen ini, strukturnya berkembang, yang semula hanya terdiri dari empat seksi, sekarang terdiri dari lima direktorat jenderal.
2.    Pendidikan
Setelah Indonesia merdeka, terutama setelah berdirinya Departemen Agama, persoalan pendidikan agama Islam mulai mendapat perhatian lebih serius. Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dalam bulan Desember 1945 menganjurkan agar pendidikan madrasah diteruskan. Badan ini juga mendesak pemerintah agar memberikan bantuan kepada madrasah. Departemen agama juga menganjurkan agar pesantren tradisional dikembangkan menjadi sebuah madrasah, diisusun secara klasikal, memakai kurukulum yang tetap, dan memasukkan mata pelajaran umum di samping agama, sehingga murid di madrasah tersebut mendapat pendidikan umum yang sama dengan murid di sekolah umum. Berkenaan dengan perguruan tinggi Islam, kaum Muslimin di Indonesia sejak awal sudah berpikir untuk membangunnya. Mahmud Yunus membuka Islamic College pertama tanggal 9 Desember 1940 di Padang, yang terdiri dari Fakultas Syariah dan Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab.
Universitas Islam Indonesia (UII) adalah perguruan tinggi Islam pertama yang memiliki fakultas-fakultas non-agama. Dengan demikian, ia dapat memberi contoh tentang perkembangan universitas-universitas Islam di Indonesia.[7] Perguruan tinggi Islam yang khusus terdiri dari fakultas-fakultas keagamaan mulai mendapat perhatian kementerian Agama pada tahun 1950. Pada tanggal 12 Agustus 1950, Fakultas Agama di UII dipisahkan dan diambil alih oleh pemerintah dan pada tanggal 26 September 1951 secara resmi dibuka perguruan tinggi baru dengan nama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dibawah pengawasan Kementerian Agama. Pada tahun 1957, di Jakarta didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Akademi ini dimaksudkan sebagai sekolah latihan bagi para pejebat yang berdinas dalam pemerintahan. Pada tahun 1960, PTAIN dan ADIA disatukan menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dibawah Kementerian Agama.[8] IAIN ini terus berkembang pesat. Pada tahun 1992, ada 14 buah IAIN di seluruh Indonesia dengan fakultas lebih dari seratus. Juga bermula dari Jakarta dan Yogyakarta, pada awal tahun 1980-an, dibuka Program Pascasarjana IAIN dan beberapa tahun kemudian IAIN Alauddin Ujung Pandang dan IAIN Syiah Kuala, Aceh, juga membuka program yang sama.
3.    Hukum Islam
Salah satu lembaga Islam yang sangat penting yang juga ditangani oleh Departemen Agama adalah hukum atau syariat. Pengadilan Islam di Indonesia membatasi dirinya pada soal-soal hukum muamalat yang bersifat pribadi. Hukum muamalat pun terbatas pada masalah nikah, cerai, dan rujuk; hukum waris (faraidh), wakaf, hibah, dan baitul mal.[9] Baru pada tahun 1974, hukum perkawinan diundangkan, setelah Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui pada bulan Desember 1973. Sebenarnya, usaha untuk mengundangkan peraturan perkawinan secara nasional sudah dimulai sejak tahun 1950 dengan terbentuknya suatu panitia khusus yang diketuai oleh Teuku Mohammad Hasan. Baru pada tahun 1958, hasil kerja panitia ini dibicarakan dalam Dewan Perwakilan Rakyat, bersama-sama dengan suatu usul rancangan undang-undang yang dimajukan oleh kalangan nasionalis. Akan tetapi, kedua rancanagn itu dikesampingkan, karena terjadi kemacetan dalam perdebatan di parlemen.
Pelaksanaan hukum Islam di Indonesia, meskipun demikian, tetap saja masih sulit dilakukan, karena belum ada kompilasi, apalagi kodifikasi hukum Islam yang dijadikan hukum terapan pada Badan Peradilan Agama masih terpencar di dalam berbagai kitab fiqih klasik yang jumlahnya sangat banyak.
4.    Haji
Indonesia termasuk negeri yang banyak mengirim jamaah haji. Sejak awal tahun 1970-an, banyak para pejabat tinggi pemerintah, termasuk menteri, yang tidak ketinggalan berangkat ke tanah suci. Bahkan, dari kalangan merekalah amir al-hajj (pemimpin jamaah haji) Indonesia ditunjuk. Semenjak zaman penjajahan Belanda, umat Islam Indonesia ingin mempunyai kapal laut untuk dipergunakan dalam penyelenggaraan perjalanan haji. Iuran dikumpulkan, saham diedarkan, tetapi, selama zaman jajahan, keinginan ini tidak terwujud. Setelah Indonesia merdeka, usaha ini dilanjutkan. Pada tahun 1950, sebuah yayasan, yaitu Yayasan Perjalanan Haji Indonesia, didirikan di Jakarta. Pemerintah memberikan kuasa kepada Yayasan itu untuk menyelenggarakan perjalanan haji. Sebuah bank, Bank Haji Indonesia dan sebuah perusahaan kapal, Pelayaran Muslim Indonesia (MUSI) didirikan. Tetapi, sepuluh tahun kemudian, perusahaan MUSI ini masih saja bertindak sebagai agen dalam mencarter kapal dari perusahaan asing, MUSI tidak mempunyai kapal sendiri.[10] Cara ini ditempuh sampai tahun 1962, ketika MUSI dibekukan oleh pemerintah, mungkin sekali karena pertimbangan politik. Setahun sebelumnya, pada tahun 1961, Petugas Haji Indonesia (PHI) yang bertugas memberikan kemudahan-kemudahan naik haji, juga dibubarkan karena banyak anggota PHI adalah anggota Masyumi, partai yang telah dibubarkan.[11]
Untuk peningkatan mutu pelayanan, pemerintah menyediakan Tim Pembimbing Haji Indonesia (TPHI), Tim Pembimbing Haji Daerah (TPHD), Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI), dan Tim Kesehatan Haji Daerah (TKHD). Disamping itu, pemerintah masih merasa perlu untuk mengangkat Tim Pembimbing Ibadah Haji (TPIH).[12] Sesuai dengan aspirasi sebagian masyarakat, sejak awal tahun 1980-an, dikenal adanya Ongkos Naik Haji (ONH) Plus, yang tentu berbeda dengan ONH biasa dalam hal pelayanan.
5.    Majelis Ulama Indonesia
Di samping Departemen Agama, cara lain pemerintah Indonesia dalam menyelenggarakan administrasi Islam ialah mendirikan Majelis Ulama. Pertama kali Majelis Ulama didirikan pada masa pemerintahan Soekarno. Majelis ini pertama berdiri di daerah-daerah karena diperlukan untuk menjamin keamanan. Di Jawa Barat berdiri pada tanggal 12 Juli 1958, diketuai oleh seorang panglima militer.
Majelis-majelis Ulama di provinsi lain didirikan jauh kemudian, yaitu setelah majelis pusat berdiri pada bulan Oktober 1962, sesuai dengan keinginan dan instruksi pemerintah pusat. Setelah Soekarno jatuh sebagai akibat peristiwa Gestapu, kegiatan-kegiatan Majelis Ulama Daerah meningkat, terutama di Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan semua daerah yang terkenal kuat Islamnya.[13]
Pada tanggal 8 September 1969, di Jakarta didirikan Pusat Dakwah Islam Indonesia (PDII) yang merupakan badan setengah resmi. Pada tahun 1975, usaha-usaha dimulai untuk mendirikan majelis ulama yang baru. Majelis-majelis ulama di tiap ibu kota provinsi dibentuk atau bagi yang masih aktif diteruskan dalam rangka pembentukan majelis ulama yang baru. Di Jakarta dibentuk panitia Musyawarah Nasional I Majelis Ulam seluruh Indonesia. Musyawarah itu dilangsungkan pada tanggal 21-27 Juni 1975, dihadiri oleh wakil-wakil Majelis Ulama provinsi. Ketika itulah Majelis Ulama didirikan dengan nama Majelis Ulama Indonesia. Dalam periode pertama (1975-1980), jabatan ketua umum Majelis Ulama ini dipegang oleh Prof. Dr. Hamka yang terpilih kembali untuk masa jabatan 1980-1985. Kemudia Hamka mengundurkan diri dari Ketua Umum MUI pada tahun 1981 karena berbeda pendapat dengan pemerintah tentang perayaan “Natal Bersama”. Pengunduran itu tidak menolak perlunya eksistensi MUI, bahkan pengunduran tersebut merupakan “harga” yang harus dibayar oleh semua pihak untuk membangun martabat dan fungsi MUI yang benar. Bagaimanapun Hamka telah membuat sejarah dengan MUI-nya.[14]
Meski perkembangan terakhir menunjukkan merelupnya peranan alim ulama dalam lapangan politik dan kenegaraan, tetapi hal itu tidak berarti peranan alim ulama hilang lenyap sama sekali. Cuma untuk mengemban peranan sebagai pembimbing rohani ummat dan pemberi petunjuk fatwa-fatwa keagamaan perlu dilakukan usaha-usaha pengkaderan ulama. Dan usaha tersebut bukanlah tanggung jawab pemerintah juga. Apalagi dengan telah ditumbuhkannya MUI sejak tahun 1975, tanggung jawab pemerintah harus kian menonjol.




BAB III
PENUTUP

Penyebaran Islam di Indonesia pertama-tama dilakukan oleh para pedagang, pertumbuhan komunitas Islam bermula diberbagai pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera, Jawa, dan pulau lainnya. Penyebaran dan pertumbuhan kebudayaan Islam di Indonesia terutama terletak di pundak para ulama. Paling tidak, ada dua cara yang dilakukannya. Pertama, membentuk kader-kader ulama yang akan bertugas sebagai mubalig ke daerah-daerah yang lebih luas. Kedua, melalui karya-karya yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat yang jauh.
Kemudian setelah Indonesia merdeka banyak mengalami perubahan, yaitu didirikannya Departemen Agama yang kemudian mempunyai tugas-tugas penting yang harus dilakukan yaitu menyelenggarakan, membimbing, dan mengawasi pendidikan agama. Departemen Agama juga menangani hukum atau syariat Islam. Di samping Departemen Agama, cara lain pemerintah Indonesia dalam menyelenggarakan administrasi Islam ialah menyediakan Tim Pembimbing Haji Indonesia (TPHI), Tim Pembimbing Haji Daerah (TPHD), Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI), dan Tim Kesehatan Haji Daerah (TKHD), dan mendirikan Majelis Ulama Indonesia.





DAFTAR PUSTAKA

Aen, Nurul. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Rais, M. Amien (Ed.). Islam di Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali.
Uka,  Tjandrasasmita (Ed.). Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Yatim, Badri. 2014. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.





[1] Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm.299.
[2] Ibid., hlm. 120.
[3] Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm.301-302.
[4] Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia, III, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm.193.
[5] B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grafitipers, 1985, cetakan pertama), hlm. 110.
[6] Deliar Noer, op. cit., hlm. 36-37.
[7] B.J. Boland, op. cit., hlm. 123.
[8] Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 313.
[9] Deliar Noer, op. cit., hlm. 84.
[10] Deliar Noer, op. cit., hlm. 105.
[11] Ibid., hlm. 106.
[12] Panji Masyarakat, No. 515, 11 September 1986, hlm. 17.
[13] Ibid., hlm. 129.
[14] Rais M. Amien (Ed.), Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali, 1989), hlm. 146.