Sabtu, 30 Desember 2017

MAKALAH PENGEMBANGAN EMPATI KONSELOR




MAKALAH

PENGEMBANGAN EMPATI KONSELOR

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Pribadi Konselor
Dosen Pengampu: Ernawati, M.Psi.




Oleh:
1.    Hanif Mega S          (141221041)
2.    Umi Istiqomah          (141221042)
3.    Faris Jundi A          (141221046)
4.    Rafika Kumalasari          (141221065)
5.    Yogi                               (                   )



JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM KELAS 6B
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
SURAKARTA
2017

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Empati budaya dalam bimbingan dan konseling merupakan hal yang sangat penting. Mengingat proses konseling merupakan sebuah bantuan melalui interaksi antara dua orang yang berbeda latar belakang budaya. Salah satu masalah yang sering muncul adalah kurangnya rasa empati dalam berkomunikasi yang bisa menyebabkan kesalahpahaman interaksi komunikasi dalam konseling sehingga konseli tidak mendapat manfaat dari proses konseling.
Empati dalam konseling justru dianggap sebagai salah satu cara yang efektif dalam usaha mengenali, memahami, dan mengevaluasi orang lain karena dimungkinkan seseorang itu masuk dan menjadi sama dengan orang lain. Melalui berempati, seseorang bisa benar-benar merasakan dan menghayati orang lain termasuk bagaimana seseorang mengamati dan menghadapi masalah dan keadaannya yang sesuai dengan budayanya.
Untuk itu, di dalam penulisan makalah ini akan disampaikan pengertian dari empati itu sendiri hingga pemaparan mengenai latihan empati konselor dan bagi calon konselor
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari empati?
2.      Apa unsur-unsur empati?
3.      Bagaimana latihan empati konselor?
4.      Bagaimana latihan empati bagi calon konselor?
5.      Bagaimana aspek intelektualnya?
6.      Bagaimana konsep empati budaya dalam keefektifan konseling?
7.      Apa yang dimaksud dengan stereotip?





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Empati
Empati adalah kemampuan konselor untuk merasakan apa yang dirasakan klien, merasa dan berpikir bersama klien dan bukan untuk atau tentang klien. Empati diawali dengan simpati, yaitu kemampuan konselor memahami perasaan, keinginan, dan pengalaman klien. Empati adalah kemampuan untuk memahami cara pandang dan perasaan orang lain. Empati tidak berarti memahami orang lain secara objektif, tetapi sebaliknya berusaha memahami pikiran dan perasaan orang lain dengan cara orang lain tersebut berpikir dan merasakan atau melihat dirinya sendiri. Carl Rogers menjelaskan konsep empati ini dengan istilah internal frame of reference, artinya memahami orang lain berdasarkan kerangka persepsi dan perasaan orang lain tersebut (Latipun 2010). Rogers juga menambahkan bahwa  melalui empati seseorang mampu merasakan dan memahami dunia pribadi orang lain, namun tanpa kehilangan kesadaran terhadap dirinya sendiri  atau terhanyut oleh pikiran dan perasaan orang lain tersebut (Willis 2010).
Empati adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui bagaimana merasakan perasaan orang lain. empati berperan penting dalam berbagai bidang kehidupan, mulai dari pengasuhan, pendidikan, manajemen, hingga tindakan bela rasa dan percintaan. Secara sederhana, empati dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk membayangkan diri sendiri berada pada tempat dan pemahaman yang dimiliki orang lain, mencakup perasaan, hasrat, ide-ide, dan tindakan-tindakannya. Istilah ini awalnya biasa digunakan dengan rujukan khusus pengalaman estetis.
Empati merupakan kemampuan konselor untuk memahami permasalahan konseli, melihat melalui sudut pandang konseli dan latar belakang budayanya, peka terhadap perasaan-perasaan konseli, sehingga konselor mengetahui bagaimana konseli merasakan perasaannya. Dalam hal ini konselor diharapkan dapat memahami perasaan konseli tidak hanya pada permukaan, tetapi lebih dalam pada kondisi psikologis konseli. Jika ketiga kondisi diatas dapat dimunculkan oleh konselor sebagai kualitas dalam hubungan teurapeutik, dengan demikian, dapat diprediksikan aktivitas yang akan dialami konseli dalam konseling adalah menjajaki perasaan dan sikapnya secara mendalam (Komalasari, dkk, 2011).
Empati sangat penting dalam proses konseling. Tanpa empati, proses konseling tidak akan berjalan secara efektif. Konselor yang tidak mampu berempati tidak akan bisa menjadi pemecah masalah yang efektif, dalam arti akan mengalami kesulitan membantu mencarikan alternatif pemecahan masalah individu (klien). Melalui keterampilan ini, dalam proses konseling diharapkan klien akan terlibat pembicaraan dan terbuka. Selain itu, dengan berempati klien akan tersentuh dan bersedia serta terbuka untuk mengemukakan isi yang tersimpan dalam lubuk hati yang dalam berupa perasaan, pikiran, pengalaman, bahkan penderitaannya.
B.     Unsur-unsur Empati
Secara umum, unsur-unsur empati adalah sebagai berikut:
1.    Imajinasi yang tergantung kepada kemampuan membayangkan, di sini imajinasi berfungsi untuk memungkinkan pengandaian diri seseorang sebagai orang lain.
2.    Adanya kesadaran terhadap diri sendiri (self-awareness atau self-conscousness); secara khusus pandangan positif terhadap diri sendiri secara umum penerimaan (dalam arti pengenalan) apa adanya terhadap kelebihan dan kekurangan diri sendiri.
3.    Adanya kesadaran terhadap orang lain; pengenalan dan perhatian terhadap orang lain, secara khusus pandangan positif terhadap orang lain, secara umum penerimaan apa adanya terhadap kelebihan dan kekurangan orang lain.
4.    Adanya perasaan, hasrat, ide-ide dan representasi atau hasil tindakan baik pada orang yang berempati maupun pada orang lain sebagai pihak yang diberi empati disertai keterbukaan untuk saling memahami satu sama lain.
5.    Ketersediaan sebuah kerangka pikir estetis; ini merupakan dasar untuk menampilkan respons yang dianggap pantas dan memadai agar kesesuaian antara orang yang berempati orang yang menjadi sasaran empati dapat tercapai (agar tidak menjadi pelanggaran privasi atau perilaku sok tahu); kerangka pikir estetis selalu tergantung pada budaya, masyarakat, dan konteks jaman.
6.    Ketersediaan sebuah kerangka pikir moral, dalam konteks pendidikan kerangka ini merupakan panduan untuk pembentukan dan pengembangan kompetensi dan karakter guru dan murid, juga tergantung kepada budaya masyarakat dan konteks jaman.
C.    Latihan Empati Konselor
Latihan mengosongkan diri calon konselor dari perasaan dan pikiran egoistik, dan masuk kedalam diri konseli dengan merasakan apa yang dirasakan konseli, berpikir bersama konseli, dan bukan merasakan dan memikirkan tentang konseli.
Melakukan Empati Primer (PE) dengan mengungkapkan :
1.    “Saya dapat merasakan apa yang anda rasakan.”
2.    “Saya memahami apa yang telah anda lakukan.”
3.    “Saya mengerti apa yang anda inginkan.”
4.    Melakukan empati tingkat tinggi (AAE) dengan mengatakan:
5.    “Saya ikut terluka dengan penderitaan anda. Namun saya juga bangga dengan kemampuan daya tahan anda.”
6.    “Saya seperti hadir di sana saat anda mengalaminya, saya bangga dengan kebersihan anda.”
7.    “Saya ikut terhina dengan pengalama keji yang anda alami namun saya salut terhadap keuletan anda membela kebenaran.”
8.    “Saya ikut kecewa dengan perlakuannya terhadap anda, namun saya yakin anda masih mempunyai iman untuk melupakannya.”
Dalam melakukan teknik empati pengamat harus secara tajam mengamati bahasa tubuh konselor. Jika bahasa tubuhnya dilakukan dengan baik, maka akan menunjang terhadap teknik empati. Selanjutnya akan membantu konseli terbuka dan terlihat di dalam hubungan konseling.
D.    Latihan Empati Bagi Calon Konselor
Sofyan S. Willis (2004:87) menyatakan beberapa latihan khusus untuk membentuk kepribadian konselor. Yaitu melatihkan sifat-sifat (atribut) konselor yang dibutuhkan konseli agar dalam hubungan konseling, konelor menjadi efektif untuk mecapai tujuan konseling.
Di dalam empati, seorang konselor harus dapat merasakan apa yang dirasakan konseli. Untuk mencapai tujuan tersebut, latihan empati merupakan latihan terpenting untuk membin kepribadian konselor agar mampu berkomunikasi dengan konseli dan dapat merasakan apa yang dirasakan, dipikirkan, dan dialami konseli. Untuk dapat merasakan apa yang dirasakan, dipikirkan, dan dialami konseli, seorang konselor haruslah berusaha:
1.    Melihat kerangka rujukan dunia dalm konseli (internal frame of referne) atau kehidupan internal konseli.
2.    Menempatkan diri ke dalam kerangka persepsi internal konseli.
3.    Merasakan apa yanag dirasakan konseli.
4.    Berpikir bersama knseli, bukan berpikir tentang atau untuk konseli.
5.    Menjadi kaa emosional/cermin perasaan konseli (emotional mirror).
Keberhasilan empati adaah jika konseli dapat memahami empati konselor, sehingga dia percaya diri untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalahnya.
E.     Aspek Intelektual
Pada prinsipnya proses konseling memerlukan keterampilan intelektual yang tinggi pada konselornya. Berikut ini beberapa latihan intelektual yang dianggap penting, yaitu:
1.    Latihan intuisi
Intuisi adalah semaam kecerdasan untuk segera dan reflektif mengambil informasi yang ada dalam perilaku nonverbal (gerak, isyarat, wajah, getar suara) ddan verbal (kata, ucapan) orang lain terutama konseli. Konselor yang intuitif segera menangkap makna yang tekandung dalam perilaku verbal dan nonverbal. Untuk mencapai tahap kekuatan intuisi, seorang konselor hendaknya memiliki pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan melalui latihan.
2.    Latihan Kemampuan Dramatik (Sense of Drama)
Kemampuan dramatik adalah dapat memerankan sesuatu peran tertentu dengan mengembangkan gaya bicara, emosional, dan gerak nonverbal sesuai  dengan tuntunan skenario. Jadi mirip seorang pemain drama.
Penghayatan terhadap peran yang dimaikan, berdampak terhadap calon konselor:
a.    Akan membuat kepekaan terhadap berbagai perilaku konselinya terutama nonverbal.
b.    Sebagai media penyaluran perasaan dan ide sehingga membuat konselor untuk menjadi asli jujur dan terbuka.
F.     Konsep Empati Budaya Dalam Keefektifan Konseling
Suatu cross cutting affiliation, biasanya akan menghasilkan cross cutting loyalities. Cross cutting loyalitas adalah terbentuknya loyalitas pada hubungan silang budaya yang sudah terbentuk, oleh karena itu, sampai pada suatu tingkat tertentu, masyarakat Indonesia telah terintegrasi meskipun tumbuhnya bangsa, agama, daerah dan pelapisan sosial. Toleransi dan empati akan membawa pemahaman mengenai berbagai perbedaan yang menjadi sumber daya yang tak ternilai. Empati berpotensi untuk mengubah perbedaan menjadi saling memahami dan mengerti secara mendalam.
Setelah memaparkan deskripsi mengenai budaya dan empati, selanjutnya akan dibahas mengenai empati budaya secara inklusif. Empati budaya inklusif (inclusive cultur empathy) menjelaskan perspektif dinamis yang memyeimbangkan persamaan dan perbedaan pada saat yang sama yaitu mengintegrasikan ketrampilan yang dikembangakan untuk membina pemahaman yang komprehensif dan mendalam mengenai hubungan konseling dalam konteks budayanya, ICE memiliki dua fitur terdefinisi:
1.    Budaya dedefinisikan secara luas untuk mencakup guru budaya dari etnografi konseli (etnis dan kebangsaan),  demografis (umur, jenis kelamin, gaya hidup, tempat tinggal), status (social, pendidikan, ekonomi) dan latar belakang afiliasi (formal atau informal).
2.    Hubungan konseling empatik menghargai berbagai perbedaan dan persamaan atau fitur positif dan negatif sebagai kntribusi terhadap kualitas hubungan dalam keseimbangan dinamis (Pedersen, dkk, 2008).
3.    Hambatan-hambatan dalam empati budaya munurut Zhu(2011), empati antar budaya tidak berarti menyingkirkan budaya asli seseorang , tetapi medrasionalkan pemahaman dan peneerimaan terhadap perbedaan budaya yang ditunjukkan kepada target budaya tertentu. Berdasarkan pemahaman tersebut, kita bisa mengansumsikan beberapa penyebab utama yang terlibat dalam proses budidaya empati antar budaya:
a.    Tidak adanya kesadaran dari target budaya tertentu, dan kurangnya kontak dengan orang dari budaya itu.
b.    Terlalu menekankan universalitas budaya, tetapi mengabaikan perbedaan antara mereka.
c.    Perbedaan dalam pola berpikir masyarakat dan transfer negatif mereka ke dalam budaya sasaran ketika belajar bahasa sasaran.
d.   Adanya kesembarangan penerapan adat budaya mereka dengan budaya target.
G.    Stereotip
Stereotip adalah dari interaksi budaya dan misperception. Persepsi kelompok dibentuk oleh sistem nilai pribdi mereka melalui skema kognitifnya. Positif stereotip, seperti “cerdas” dan “ambisius” dam stereotp negatif seperti “terbelakang” dan “malas” menandakan keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu dan memungkinkan indvidu untuk secara kognitif memilah-milah banyak informasi berdasarkan fitur yang menonjol pada diri mereka. Meskipun stereotip tidak boleh diterapkan untuk mengembangkan perilaku individu (harus diterapkan pada norma perilaku untuk seluruh kelompok).









BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Secara sederhana, empati dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk membayangkan diri sendiri berada pada tempat dan pemahaman yang dimiliki orang lain, mencakup perasaan, hasrat, ide-ide, dan tindakan-tindakannya termasuk yang harus dimiliki pada diri konselor. Karena juga dijelaskan bahwahannya Empati dalam konseling merupakan hal yang sangat penting, mengingat proses konseling merupakan sebuah bantuan melalui interaksi antara dua orang atau lebih yang berbeda latar belakangnya.
Salah satu masalah yang sering muncul adalah kurangnya rasa empati dalam berkomunikasi yang bisa menyebabkan kesalahpahaman interaksi komunikasi sehingga konseli frustasi dan tidak ada manfaat yang dihasilakan dari proses konseling tersebut, mengingat empati sebagai kemampuan untuk mendalami emosi individu lain, merasai apa yang dirasainya dan kemampuan untuk respon dalam keadaan diri mempunyai perasaan/emosi yang sama seperti individu berkenaan.















DAFTAR PUSTAKA

Awalya. 2013. Pengembanagn Pribadi Konselor. Yogyakarta: CV BUDI UTAMA.
Miharja. 2010. Buku Bahan Ajar Teknik Konseling.