MAKALAH
PENGEMBANGAN EMPATI KONSELOR
Disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Pengembangan Pribadi Konselor
Dosen Pengampu: Ernawati, M.Psi.
Oleh:
1.
Hanif
Mega S (141221041)
2.
Umi Istiqomah (141221042)
3.
Faris
Jundi A (141221046)
4.
Rafika
Kumalasari (141221065)
5.
Yogi ( )
JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM
KELAS 6B
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
SURAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Empati budaya dalam bimbingan dan konseling merupakan
hal yang sangat penting. Mengingat proses konseling merupakan sebuah bantuan
melalui interaksi antara dua orang yang berbeda latar belakang budaya. Salah
satu masalah yang sering muncul adalah kurangnya rasa empati dalam
berkomunikasi yang bisa menyebabkan kesalahpahaman interaksi komunikasi dalam
konseling sehingga konseli tidak mendapat manfaat dari proses konseling.
Empati dalam konseling justru dianggap sebagai salah
satu cara yang efektif dalam usaha mengenali, memahami, dan mengevaluasi orang
lain karena dimungkinkan seseorang itu masuk dan menjadi sama dengan orang
lain. Melalui berempati, seseorang bisa benar-benar merasakan dan menghayati
orang lain termasuk bagaimana seseorang mengamati dan menghadapi masalah dan
keadaannya yang sesuai dengan budayanya.
Untuk itu, di dalam penulisan makalah ini akan
disampaikan pengertian dari empati itu sendiri hingga pemaparan mengenai latihan
empati konselor dan bagi calon konselor
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian dari
empati?
2.
Apa unsur-unsur empati?
3.
Bagaimana latihan
empati konselor?
4.
Bagaimana latihan
empati bagi calon konselor?
5.
Bagaimana aspek
intelektualnya?
6.
Bagaimana konsep empati
budaya dalam keefektifan konseling?
7.
Apa yang dimaksud
dengan stereotip?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Empati
Empati adalah kemampuan konselor untuk merasakan apa
yang dirasakan klien, merasa dan berpikir bersama klien dan bukan untuk atau
tentang klien. Empati diawali dengan simpati, yaitu kemampuan konselor memahami
perasaan, keinginan, dan pengalaman klien. Empati adalah kemampuan untuk
memahami cara pandang dan perasaan orang lain. Empati tidak berarti memahami
orang lain secara objektif, tetapi sebaliknya berusaha memahami pikiran dan
perasaan orang lain dengan cara orang lain tersebut berpikir dan merasakan atau
melihat dirinya sendiri. Carl Rogers menjelaskan konsep empati ini dengan
istilah internal frame of reference, artinya memahami orang lain berdasarkan
kerangka persepsi dan perasaan orang lain tersebut (Latipun 2010). Rogers juga
menambahkan bahwa melalui empati
seseorang mampu merasakan dan memahami dunia pribadi orang lain, namun tanpa
kehilangan kesadaran terhadap dirinya sendiri
atau terhanyut oleh pikiran dan perasaan orang lain tersebut (Willis
2010).
Empati adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui
bagaimana merasakan perasaan orang lain. empati berperan penting dalam berbagai
bidang kehidupan, mulai dari pengasuhan, pendidikan, manajemen, hingga tindakan
bela rasa dan percintaan. Secara sederhana, empati dapat didefinisikan sebagai
kemampuan untuk membayangkan diri sendiri berada pada tempat dan pemahaman yang
dimiliki orang lain, mencakup perasaan, hasrat, ide-ide, dan
tindakan-tindakannya. Istilah ini awalnya biasa digunakan dengan rujukan khusus
pengalaman estetis.
Empati merupakan kemampuan konselor untuk memahami
permasalahan konseli, melihat melalui sudut pandang konseli dan latar belakang
budayanya, peka terhadap perasaan-perasaan konseli, sehingga konselor
mengetahui bagaimana konseli merasakan perasaannya. Dalam hal ini konselor diharapkan
dapat memahami perasaan konseli tidak hanya pada permukaan, tetapi lebih dalam
pada kondisi psikologis konseli. Jika ketiga kondisi diatas dapat dimunculkan
oleh konselor sebagai kualitas dalam hubungan teurapeutik, dengan demikian,
dapat diprediksikan aktivitas yang akan dialami konseli dalam konseling adalah
menjajaki perasaan dan sikapnya secara mendalam (Komalasari, dkk, 2011).
Empati sangat penting dalam proses konseling. Tanpa
empati, proses konseling tidak akan berjalan secara efektif. Konselor yang
tidak mampu berempati tidak akan bisa menjadi pemecah masalah yang efektif,
dalam arti akan mengalami kesulitan membantu mencarikan alternatif pemecahan
masalah individu (klien). Melalui keterampilan ini, dalam proses konseling
diharapkan klien akan terlibat pembicaraan dan terbuka. Selain itu, dengan
berempati klien akan tersentuh dan bersedia serta terbuka untuk mengemukakan
isi yang tersimpan dalam lubuk hati yang dalam berupa perasaan, pikiran,
pengalaman, bahkan penderitaannya.
B.
Unsur-unsur
Empati
Secara umum,
unsur-unsur empati adalah sebagai berikut:
1.
Imajinasi yang
tergantung kepada kemampuan membayangkan, di sini imajinasi berfungsi untuk memungkinkan
pengandaian diri seseorang sebagai orang lain.
2.
Adanya kesadaran
terhadap diri sendiri (self-awareness atau
self-conscousness); secara khusus
pandangan positif terhadap diri sendiri secara umum penerimaan (dalam arti
pengenalan) apa adanya terhadap kelebihan dan kekurangan diri sendiri.
3.
Adanya kesadaran
terhadap orang lain; pengenalan dan perhatian terhadap orang lain, secara
khusus pandangan positif terhadap orang lain, secara umum penerimaan apa adanya
terhadap kelebihan dan kekurangan orang lain.
4.
Adanya perasaan,
hasrat, ide-ide dan representasi atau hasil tindakan baik pada orang yang
berempati maupun pada orang lain sebagai pihak yang diberi empati disertai
keterbukaan untuk saling memahami satu sama lain.
5.
Ketersediaan sebuah
kerangka pikir estetis; ini merupakan dasar untuk menampilkan respons yang
dianggap pantas dan memadai agar kesesuaian antara orang yang berempati orang
yang menjadi sasaran empati dapat tercapai (agar tidak menjadi pelanggaran
privasi atau perilaku sok tahu); kerangka pikir estetis selalu tergantung pada
budaya, masyarakat, dan konteks jaman.
6.
Ketersediaan sebuah
kerangka pikir moral, dalam konteks pendidikan kerangka ini merupakan panduan
untuk pembentukan dan pengembangan kompetensi dan karakter guru dan murid, juga
tergantung kepada budaya masyarakat dan konteks jaman.
C.
Latihan
Empati Konselor
Latihan
mengosongkan diri calon konselor dari perasaan dan pikiran egoistik, dan masuk
kedalam diri konseli dengan merasakan apa yang dirasakan konseli, berpikir
bersama konseli, dan bukan merasakan dan memikirkan tentang konseli.
Melakukan
Empati Primer (PE) dengan mengungkapkan :
1. “Saya
dapat merasakan apa yang anda rasakan.”
2. “Saya
memahami apa yang telah anda lakukan.”
3. “Saya
mengerti apa yang anda inginkan.”
4. Melakukan
empati tingkat tinggi (AAE) dengan mengatakan:
5. “Saya
ikut terluka dengan penderitaan anda. Namun saya juga bangga dengan kemampuan
daya tahan anda.”
6. “Saya
seperti hadir di sana saat anda mengalaminya, saya bangga dengan kebersihan
anda.”
7. “Saya
ikut terhina dengan pengalama keji yang anda alami namun saya salut terhadap
keuletan anda membela kebenaran.”
8. “Saya
ikut kecewa dengan perlakuannya terhadap anda, namun saya yakin anda masih
mempunyai iman untuk melupakannya.”
Dalam
melakukan teknik empati pengamat harus secara tajam mengamati bahasa tubuh
konselor. Jika bahasa tubuhnya dilakukan dengan baik, maka akan menunjang
terhadap teknik empati. Selanjutnya akan membantu konseli terbuka dan terlihat
di dalam hubungan konseling.
D.
Latihan
Empati Bagi Calon Konselor
Sofyan
S. Willis (2004:87)
menyatakan beberapa latihan khusus untuk membentuk kepribadian konselor. Yaitu
melatihkan sifat-sifat (atribut)
konselor yang dibutuhkan konseli agar dalam hubungan konseling, konelor menjadi
efektif untuk mecapai tujuan konseling.
Di dalam
empati, seorang konselor harus dapat merasakan apa yang dirasakan konseli.
Untuk mencapai tujuan tersebut, latihan empati merupakan latihan terpenting
untuk membin kepribadian konselor agar mampu berkomunikasi dengan konseli dan
dapat merasakan apa yang dirasakan, dipikirkan, dan dialami konseli. Untuk
dapat merasakan apa yang dirasakan, dipikirkan, dan dialami konseli, seorang
konselor haruslah berusaha:
1. Melihat
kerangka rujukan dunia dalm konseli (internal
frame of referne) atau kehidupan internal konseli.
2. Menempatkan
diri ke dalam kerangka persepsi internal konseli.
3. Merasakan
apa yanag dirasakan konseli.
4. Berpikir
bersama knseli, bukan berpikir tentang atau untuk konseli.
5. Menjadi
kaa emosional/cermin perasaan konseli (emotional
mirror).
Keberhasilan
empati adaah jika konseli dapat memahami empati konselor, sehingga dia percaya
diri untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalahnya.
E.
Aspek
Intelektual
Pada
prinsipnya proses konseling memerlukan keterampilan intelektual yang tinggi
pada konselornya. Berikut ini beberapa latihan intelektual yang dianggap
penting, yaitu:
1. Latihan
intuisi
Intuisi
adalah semaam kecerdasan untuk segera dan reflektif mengambil informasi yang
ada dalam perilaku nonverbal
(gerak, isyarat, wajah, getar suara) ddan verbal (kata, ucapan) orang lain
terutama konseli. Konselor yang intuitif segera menangkap makna yang tekandung
dalam perilaku verbal dan nonverbal. Untuk mencapai tahap kekuatan intuisi,
seorang konselor hendaknya memiliki pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan
melalui latihan.
2. Latihan
Kemampuan Dramatik (Sense of Drama)
Kemampuan
dramatik adalah dapat memerankan sesuatu peran tertentu dengan mengembangkan
gaya bicara, emosional, dan gerak nonverbal sesuai dengan tuntunan skenario. Jadi mirip seorang
pemain drama.
Penghayatan
terhadap peran yang dimaikan, berdampak terhadap calon konselor:
a. Akan
membuat kepekaan terhadap berbagai perilaku konselinya terutama nonverbal.
b. Sebagai media penyaluran perasaan dan ide
sehingga membuat konselor untuk menjadi asli jujur dan terbuka.
F.
Konsep
Empati Budaya Dalam Keefektifan Konseling
Suatu cross cutting affiliation, biasanya akan menghasilkan cross cutting loyalities.
Cross cutting loyalitas adalah terbentuknya loyalitas pada hubungan silang
budaya yang sudah terbentuk, oleh karena itu, sampai pada suatu tingkat
tertentu, masyarakat Indonesia telah terintegrasi meskipun tumbuhnya bangsa,
agama, daerah dan pelapisan sosial. Toleransi dan empati akan membawa pemahaman
mengenai berbagai perbedaan yang menjadi sumber daya yang tak ternilai. Empati
berpotensi untuk mengubah perbedaan menjadi saling memahami dan mengerti secara
mendalam.
Setelah
memaparkan deskripsi mengenai budaya dan empati, selanjutnya akan dibahas
mengenai empati budaya secara inklusif. Empati budaya inklusif (inclusive
cultur empathy) menjelaskan perspektif dinamis yang memyeimbangkan persamaan
dan perbedaan pada saat yang sama yaitu mengintegrasikan ketrampilan yang
dikembangakan untuk membina pemahaman yang komprehensif dan mendalam mengenai
hubungan konseling dalam konteks budayanya, ICE memiliki dua fitur terdefinisi:
1. Budaya
dedefinisikan secara luas untuk mencakup guru budaya dari etnografi konseli (etnis
dan kebangsaan), demografis (umur, jenis
kelamin, gaya hidup, tempat tinggal), status (social, pendidikan, ekonomi) dan
latar belakang afiliasi (formal atau informal).
2. Hubungan
konseling empatik menghargai berbagai perbedaan dan persamaan atau fitur positif
dan negatif sebagai kntribusi terhadap kualitas hubungan dalam keseimbangan
dinamis (Pedersen, dkk, 2008).
3. Hambatan-hambatan
dalam empati budaya munurut Zhu(2011), empati antar budaya tidak berarti
menyingkirkan budaya asli seseorang , tetapi medrasionalkan pemahaman dan
peneerimaan terhadap perbedaan budaya yang ditunjukkan kepada target budaya
tertentu. Berdasarkan pemahaman tersebut, kita bisa mengansumsikan beberapa
penyebab utama yang terlibat dalam proses budidaya empati antar budaya:
a. Tidak adanya
kesadaran dari target budaya tertentu, dan kurangnya kontak dengan orang dari
budaya itu.
b. Terlalu
menekankan universalitas budaya, tetapi mengabaikan perbedaan antara mereka.
c. Perbedaan
dalam pola berpikir masyarakat dan transfer negatif mereka ke dalam budaya
sasaran ketika belajar bahasa sasaran.
d. Adanya
kesembarangan penerapan adat budaya mereka dengan budaya target.
G.
Stereotip
Stereotip
adalah dari interaksi budaya dan misperception.
Persepsi kelompok dibentuk oleh sistem nilai pribdi mereka melalui skema
kognitifnya. Positif stereotip, seperti “cerdas” dan “ambisius” dam stereotp
negatif seperti “terbelakang” dan “malas” menandakan keanggotaan dalam kelompok
sosial tertentu dan memungkinkan indvidu untuk secara kognitif memilah-milah
banyak informasi berdasarkan fitur yang menonjol pada diri mereka. Meskipun stereotip tidak boleh diterapkan untuk
mengembangkan perilaku individu (harus diterapkan pada norma perilaku untuk
seluruh kelompok).
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara sederhana, empati dapat didefinisikan
sebagai kemampuan untuk membayangkan diri sendiri berada pada tempat dan
pemahaman yang dimiliki orang lain, mencakup perasaan, hasrat, ide-ide, dan
tindakan-tindakannya termasuk yang harus dimiliki pada diri konselor. Karena
juga dijelaskan bahwahannya Empati dalam konseling merupakan hal yang sangat
penting, mengingat proses konseling merupakan sebuah bantuan melalui interaksi
antara dua orang atau lebih yang berbeda latar belakangnya.
Salah satu masalah yang sering muncul adalah
kurangnya rasa empati dalam berkomunikasi yang bisa menyebabkan kesalahpahaman
interaksi komunikasi sehingga konseli frustasi dan tidak ada manfaat yang
dihasilakan dari proses konseling tersebut, mengingat empati sebagai kemampuan
untuk mendalami emosi individu lain, merasai apa yang dirasainya dan kemampuan
untuk respon dalam keadaan diri mempunyai perasaan/emosi yang sama seperti
individu berkenaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Awalya. 2013. Pengembanagn
Pribadi Konselor. Yogyakarta: CV BUDI UTAMA.
Miharja. 2010. Buku
Bahan Ajar Teknik Konseling.